Tipe mahasiswa setidaknya ada 3 (tiga)
sesuai dengan kebiasaannya, terutama di Universitas Tribhuwana Tunggadewi
(Unitri). Pertama, mahasiswa Kupu-kupu; kuliah-pulang kuliah pulang. Sering
kita melihat mahasiswa dengan karakter Kupu-kupu, yang aktivitasnya hanya
kuliah lalu pulang. Kedua, mahasiswa Kelabang; keliaran bangga. Mahasiswa jenis
Kelabang dapat kita pahami karena memang latar belakang dan asal mahasiswa Unitri
dari berbagai pelosok di tanah air, sehingga “aji mumpung” berlaku. Mumpung di
Malang keliaran menambah pengalaman, keren! Yang terakhir adalah mahasiswa
Tikus; Aktivis kampus. Tipe mahasiswa yang terakhir ini adalah tipe mahasiswa
yang ideal, setidaknya jika memegang teguh idealismenya. Jika tidak, maka akan benar-benar
menyerupai “tikus” ala lagunya Iwan Fals!
Pilihan menjadi mahasiswa kupu-kupu
tidak salah apabila diimbangi dengan kegiatan bermanfaat dan serius untuk
persiapan menyongsong masa depan lebih baik. Misalnya, menghabiskan waktu
membaca buku, mengunjungi perpustakaan, selanjutnya fokus pada tugas-tugas
kuliah. Sehingga secara akademis dapat meraih IPK yang baik dan berguna untuk
bekal kembali ke masyarakat dan mendapatkan kerja sesuai dengan harapan.
Mahasiswa dengan tipe kelabang bukan
pilihan yang cerdas. Keliaran bangga seharusnya dimaknai dalam hal yang
positif. Keliaran dan harus bangga apabila menghadiri seminar, lokakarya,
simposium, dan kegiatan-kegiatan positif lainnya yang menunjang kegiatan
akademis. Bukan keliaran dalam arti sebaliknya yang menyia-nyiakan waktu.
Menjadi mahasiswa ideal bukan hanya
menjadi aktivis kampus, setidaknya harus memenuhi tiga kriteria, yaitu;
berprestasi, berorganisasi, dan akhlak yang baik (budi pekerti). Ketiga kriteria ini hakikatnya tidak
terpisahkan bagi keberhasilan hidup mahasiswa di masa depan. Istilah yang
lagi populer hard skill saja tidak
cukup, butuh soft skill. Kaitan ketiga hal tersebut menurut Rahmat Hariyadi adalah sebagai berikut.
- Prestasi mengantarkan lulus seleksi dalam mendapatkan pekerjaan;
- Pengalaman organisasi menjadikan sukses melaksanakan pekerjaan; dan
- Akhlak yang baik membuat diterima dalam setiap pergaulan.
Inti dari prestasi adalah pencapaian standar nilai
yang tinggi dalam menyelesaikan perkuliahan. Prestasi mencerminkan penguasaan
seseorang terhadap sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan dan
diujikan kepadanya. Secara singkat, mahasiswa yang berprestasi adalah yang
memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi. IPK ini menjadi pertimbangan
awal bagi seorang lulusan ketika melamar suatu pekerjaan, baru kemudian hasil
ujian tulis, wawancara, uji kompetensi, dan sebagainya. Apabila prestasi
rendah, maka biasanya sejak awal seorang calon pelamar sudah tersingkir atau
tidak diperhatikan.
Pengalaman berorganisasi banyak dibutuhkan di dunia
kerja seperti yang disampaikan oleh Andrie Wongso (motivator dan
pengusaha) mengatakan; dalam dunia kerja, banyak perusahaan yang lebih
mengutamakan calon karyawan dari lulusan yang memiliki riwayat organisasi.
Alasannya, karena mantan aktivis memiliki manajemen waktu, keterampilan
interpersonal, serta problem solving
yang lebih baik jika dibandingkan dengan yang tidak memiliki pengalaman
organisasi. Karena mereka lebih terlatih dalam mengelola tugas yang banyak dan
menetapkan prioritas penyelesaiannya. Mereka tidak canggung lagi dengan
tuntutan budaya kerja kantor. Dan tentunya mereka telah terbiasa berinteraksi
dengan orang dengan berbagai karakteristiknya, sehingga lebih siap mengelola
dan menghadapi konflik dalam perusahaan bahkan menemukan solusinya. Lain halnya dengan mereka yang
semasa kuliah tidak aktif berorganisasi, maka ketika memasuki dunia kerja ia
baru mulai belajar keterampilan-keterampilan di atas. Hal ini membutuhkan
waktu, dan kadang membuat kolega kurang respek, karena semestinya ketika
memasuki dunia kerja seseorang benar-benar telah siap bekerja, bukannya baru
belajar dari awal!
Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Kualitas Lulusan Perguruan
Tinggi yang Diharapkan Dunia Kerja oleh National
Association of Colleges and Employers, USA,
2002. Berikut peringkatnya yang
paling dibutuhkan oleh dunia kerja; 1. kemampuan berkomunikasi, 2.
integritas/ kejujuran, 3. kemampuan bekerjasama, 4. kemampuan interpersonal dan
5. etika. Sedangkan IPK menduduki peringkat 17 dari 20 item kebutuhan prioritas
dunia kerja. Kalau kita tidak punya ruang untuk aktualisasi diri (aktif di organisasi)
bagaimana kita melatih semua itu?
Namun demikian memilih organisasi
berbasis mahasiswa harus cerdas dan penuh perhitungan bukan sekedar
ikut-ikutan. Mengingat menjadi mahasiswa adalah rangkaian terakhir dari proses
pendidikan formal. Itu pula mengapa sebutannya maha-siswa sama artinya di atas
segala siswa. Pengertiannya sederhana, kita dituntut untuk mandiri dalam
belajar, rasional dalam pilihan, dan menjadi orang yang merdeka lahir batin
sebagai bekal kembali kemasyarakat sebagai agent
of change. Bukan seperti siswa yang senantiasa apa kata guru, terikat kuat
dengan pilihan-pilihan orang tua, bahkan dalam banyak hal pilihannya sekedar
ikut-ikutan, berdasarkan kesenangan dan hanya karena pilihan itu adalah pilihan
teman karib kita.
Banyak organisasi yang penuh dengan
doktrin yang mengkungkung dan mengebiri fitrah kita yang senantiasa oleh Tuhan
dituntut menggunakan akal, dituntut menggunakan kesadaran beraktivitas dalam
hidup untuk beribadah dan menjadi khalifah
fil ard di dunia. Dalam kitab suci Tuhan senantiasa mengajak manusia untuk
berpikir tentang segala bentuk kuasa dan ciptaan Tuhan, agar bersyukur. Orang yang
menggunakan kesadaran dan ilmunya lebih tinggi derajatnya dimata Tuhan
dibandingkan dengan aktivitas yang tidak berdasar ilmu dan kesadaran.
Oleh karena, memilih organisasi sama
cerdasnya dengan memilih untuk menjadi orang sukses. Karena salah memilih
organisasi berarti salah pula memupuk pribadi, mental dan pola pikir bagaimana
menjadi orang yang hebat. Ingat dalam organisasi ada budaya organisasi. Jika
budayanya tidak cerdas, budayanya menghalalkan segala cara, melestarikan
tradisi-tradisi yang jauh dari nilai-nilai agama dan tidak berorientasi kepada
kehidupan dunia dan akhirat, tentunya kita akan menjadi pribadi sebagaimana
lingkungan dan budaya membentuk kita. Pilihan organisasi bukan untuk sukses di
dunia saja lebih dari itu untuk bekal di akhirat tentunya.
Akhlak yang baik adalah mata uang yang laku di mana
saja, dan bisa untuk membeli apa saja. Dengan akhlak yang baik, simpati teman
mudah didapatkan, ketidaksukaan orang dapat dihindari, hati atasan dapat dibuat
terkesan, bantuan dan pertolongan orang lain mudah didapatkan. Inilah hebatnya akhlak,
sehingga bila hal ini tidak ada, maka prestasi dan pengalaman organisasi di
atas menjadi tidak berarti.
Analoginya begini, IPK sama dengan IQ (kecerdasan
intelektual) dan pengalaman organisasi dapat kita sebut dengan EQ (kecerdasan
emosional). IQ dan EQ yang mumpuni akan menjadikan seorang lulusan jumawa
(tinggi hati) dan sekali waktu dapat dengan mudah putus asa (bahkan di negara
maju banyak yang sampai bunuh diri). Untuk menyempurnakannya dibutuhkan SQ (kecerdasan
spiritual) sebagai sandaran hakiki bagi kita makluk yang ber-Tuhan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kombinasi menjadi pribadi sukses selain
kemampuan IQ dan EQ, kuncinya bersandar pada SQ sebagai pusat orbit segala
aktivitas kita, buahnya akhlak yang baik dan menjadi pribadi teladan.
Idealnya mahasiswa harus menjadi Insan
Akademis, Pencipta dan Pengabdi. Insan Pencipta sebagai bentuk tanggung jawab
sebagai orang yang sedang belajar di perguruan tinggi, IPK sebagai
indikatornya. Pencipta, adalah tuntutan kreativitas dan inovatif setelah
berilmu karena beradaban besar di dunia lahir dari kreativitas dan inovasi dari
orang yang berilmu. Sedangkan Pengabdi, adalah tanggung jawab sosial bahwa
sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya dan juga
untuk lingkungannya.
Selanjutnya, tinggal kita bertanya pada
diri sendiri termasuk kategori mahasiswa yang bagaimanakah kita? Atau ada jenis
mahasiswa lain yang belum tersebutkan di atas. Namun yang pasti bagi Anda yang
sudah menjadi Tikus, sudah berada pada jalur kesuksesan dengan catatan IPK dan
Akhlak tidak diabaikan. Bukankah banyak yang “keasikan” aktif di organisasi
melupakan kuliah dan mengabaikan akhlak/ budi pekerti/ tata krama sebagai
pribadi calon intelektual? Semoga tidak demikian, Selamat berjuang!
Referensi;
Artikel
pribadi dody setyawan
National Association of Colleges and Employers, USA, 2002
0 komentar:
Posting Komentar