Sebuah catatan sebelum usia senja
Saling mengingatkan dalam kebaikan, dan berbuat kebajikan disertai
kesabaran.
Akal sehat pasti akan menolak
apabila ada doktrin yang mengatakan bahwa aktivitas manusia di dunia (apakah
itu perbuatan baik maupun perbuatan buruk) sudah ada yang menebusnya. Sehingga
ketika manusia meninggal, tinggal begitu saja masuk surga cukup dengan percaya
pada doktrin tersebut.
Wanita ini berumur tujuh puluhan.
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana orang seusia ini menilai hidupnya?
Jika ada yang ia ingat tentang
hidupnya, tentunya berupa suatu "kehidupan yang cepat berlalu"!
Ia akan berkomentar bahwa hidupnya
tidaklah "panjang" sebagaimana impiannya di usia belasan. Mungkin tak
pernah terlintas dalam benaknya bahwa suatu hari ia akan menjadi begitu tua.
Namun kini, ia dicekam oleh kenyataan bahwa ia telah meninggalkan tujuh puluh
tahun di belakangnya. Ketika muda, mungkin tak pernah terpikir olehnya bahwa
kebeliaan dengan segala gairahnya akan berlalu begitu cepat.
Bila pada usia senja ia diminta
untuk menceritakan kisah hidupnya, kenangannya akan terangkum dalam pembicaraan
selama lima atau enam jam saja. Hanya itulah yang tersisa dari yang disebutnya
sebagai "masa tujuh puluh tahun yang panjang".
Daya pikir seseorang, yang melemah
sesuai usia, dipenuhi banyak pertanyaan. Berbagai pertanyaan ini sungguh
penting untuk direnungkan, dan menjawabnya secara jujur sangat mendasar untuk
memahami seluruh aspek kehidupan: "Apakah tujuan dari hidup yang berlalu
begitu cepat ini? Mengapa aku harus terus bersikap positif dengan semua masalah
kerentaan yang kumiliki? Apa yang akan terjadi di masa depan?"
Jawaban yang mungkin terhadap
pertanyaan-pertanyaan ini terbagi dalam dua kategori utama: dari orang-orang
yang mengimani Allah dan dari orang-orang yang tidak mengimani-Nya.
Pernahkah berpikir untuk apa manusia
dan mahluk hidup lainnya diciptakan?
“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali beribadah (mengesakan
ibadahnya) kepada-Ku” (Adz
Dzariat:56)
Pernyataan yang paling masuk akal
tentang bagaimana manusia hidup akan mempertanggung jawabkan semua perbuatannya
adalah sebagai berikut;
“Barangsiapa yang mengerjakan
kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan
barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya pula” (QS. Az Zalzalah: 7-8).
Kezholiman dan dosa apa pun walau
seberat biji sawi, pasti Allah akan mendatangkan balasannya pada hari kiamat
ketika setiap amalan ditimbang. Jika amalan tersebut baik, maka balasan yang
diperoleh pun baik. Jika jelek, maka balasan yang diperoleh pun jelek” (Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 55).
Seseorang yang tidak mengimani Allah
akan mengatakan, "Saya telah menghabiskan hidup mengejar hal yang sia-sia.
Saya telah meninggalkan tujuh puluh tahun di belakang saya, namun sebenarnya,
saya masih belum dapat memahami untuk apa saya hidup. Ketika masih anak-anak,
orang tua adalah pusat kehidupan saya. Saya mendapatkan kebahagiaan dan
kesenangan dalam cinta mereka. Kemudian, sebagai seorang wanita muda, saya
mengabdikan diri kepada suami dan anak-anak. Pada masa itu, saya membuat banyak
cita-cita untuk diri saya. Namun ketika tercapai, semuanya seperti sesuatu yang
cepat berlalu. Saat bergembira dalam keberhasilan, saya melangkah menuju
cita-cita lain yang menyibukkan, sehingga saya tidak memikirkan makna hidup
yang sesungguhnya. Kini pada usia tujuh puluh tahun, dalam ketenangan usia
senja, saya mencoba menemukan apa gerangan tujuan masa lalu saya. Apakah saya
hidup untuk orang-orang yang kini hanya samar-samar saya ingat? Untuk orang tua
saya? Untuk suami saya yang telah berpulang bertahun-tahun yang lalu? Atau
anak-anak yang kini jarang saya lihat karena telah memiliki keluarga
masing-masing? Saya bingung. Satu-satunya kenyataan adalah bahwa saya merasa
dekat dengan kematian. Saya akan segera meninggal dan menjadi kenangan yang
redup dalam benak orang-orang. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Saya
benar-benar tidak tahu. Bahkan memikirkannya saja sudah menakutkan!"
Tentunya ada alasan mengapa ia
begitu berputus asa. Ini semata karena ia tidak dapat memahami bahwa alam
semesta, seluruh makhluk hidup dan manusia memiliki tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya dan harus dipenuhi dalam hidup. Adanya tujuan-tujuan ini
berasal dari fakta bahwa segalanya telah diciptakan. Orang yang berakal dapat
melihat hadirnya perencanaan, perancangan, dan kearifan dalam setiap detail
dunia yang penuh variasi. Hal ini membawanya pada pengenalan terhadap sang
Pencipta. Selanjutnya ia akan menyimpulkan bahwa, karena seluruh makhluk hidup
tidaklah disebabkan oleh suatu proses acak atau tanpa sadar; mereka semua
menjalankan tujuan yang penting. Dalam Al Quran, pedoman asli terakhir yang
diturunkan untuk manusia, Allah berulang kali mengingatkan kita akan tujuan
hidup kita, suatu hal yang cenderung kita lupakan, dan dengannya membimbing
kita pada kejelasan pemikiran dan kesadaran.
"Dan Dia-lah yang menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya di atas air, agar
Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya." (QS. Huud, 11: 7)
Ayat ini memberikan pemahaman penuh
akan tujuan hidup bagi orang-orang yang beriman. Mereka mengetahui bahwa hidup
ini adalah tempat mereka diuji dan dicoba oleh Pencipta mereka. Karenanya,
mereka berharap untuk berhasil dalam ujian ini dan mencapai surga serta
kesenangan yang baik dari Allah.
Akan tetapi, demi kejelasan, ada
sebuah poin penting untuk dipikirkan: mereka yang mempercayai 'keberadaan'
Allah tidak lantas memiliki keyakinan yang benar; jika mereka tidak meletakkan
kepercayaan kepada Allah. Kini, banyak orang menerima bahwa alam semesta adalah
ciptaan Allah; namun, mereka kurang memahami dampak fakta ini terhadap hidup
mereka. Karenanya, mereka tidak menjalankan hidup mereka sebagaimana yang
seharusnya. Apa yang dianggap orang-orang ini sebagai kebenaran adalah, bahwa
pada awalnya Allah menciptakan alam semesta ini, kemudian meninggalkannya.
Dalam Al Quran, Allah menunjukkan
kesalahpahaman ini dalam ayat berikut:
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan
kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu
mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi
Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Luqman, 31: 25)
Dan sungguh jika kamu bertanya
kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab:
"Allah", maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan? (Surat
az-Zukhruf: 87)
Karena kesalahpahaman ini, manusia
tidak dapat menghubungkan kehidupan mereka sehari-hari dengan fakta bahwa
mereka memiliki Pencipta. Itulah alasan dasar mengapa setiap manusia
mengembangkan prinsip dan nilai-nilai moral pribadinya sendiri, yang terbentuk
dalam budaya, komunitas, dan keluarga tertentu. Prinsip-prinsip ini sebenarnya
berfungsi sebagai "petunjuk hidup" hingga datangnya kematian. Manusia
yang menaati nilai-nilai mereka sendiri akan mendapatkan kenyamanan dalam
harapan bahwa setiap tindakan yang salah akan dihukum sementara dalam neraka.
Pemikiran sejenis menyimpulkan bahwa kehidupan abadi dalam surga akan mengikuti
masa penyiksaan ini. Pemikiran tersebut tanpa sadar meredakan rasa takut akan
hukuman yang memilukan di akhir kehidupan. Beberapa orang, di lain pihak,
bahkan tidak merenungkan hal ini. Mereka sama sekali tidak memedulikan dunia
selanjutnya dan "memanfaatkan hidup sebaik-baiknya".
Bagaimanapun, hal di atas tidak
benar dan kenyataannya berseberangan dengan apa yang mereka pikirkan. Mereka
yang berpura-pura tidak menyadari keberadaan Allah akan terjebak dalam
keputusasaan yang dalam. Dalam Al Quran, orang-orang tersebut digambarkan
sebagai berikut:
Mereka hanya mengetahui yang lahir
dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang akhirat adalah lalai, (QS. Ar-Ruum,
30: 7).
Tentulah, orang-orang ini hanya
memahami sedikit saja mengenai keberadaan dan tujuan sesungguhnya dunia ini,
dan mereka tidak pernah berpikir bahwa kehidupan dalam dunia ini tidaklah
kekal.
Ada beberapa ungkapan yang umum
dipergunakan manusia mengenai pendeknya kehidupan ini: "Manfaatkanlah
hidupmu sebaik-baiknya selagi sempat", "hidup itu pendek",
"manusia tidak hidup selamanya" adalah ungkapan yang selalu dirujuk
dalam mendefinisikan sifat dasar dunia ini. Namun, ungkapan-ungkapan ini
mengandung keterikatan yang terselubung kepada hidup ini, dibandingkan kepada
hidup setelahnya. Ungkapan-ungkapan itu mencerminkan perilaku umum manusia
terhadap kehidupan dan kematian. Karena kecintaan akan hidup yang demikian
besarnya, pembicaraan tentang kematian selalu diselingi dengan lelucon atau hal
lain yang mengurangi keseriusan permasalahan tersebut. Selingan ini selalu
memiliki tujuan, sebagai upaya sengaja untuk mereduksi permasalahan penting
tersebut menjadi hal yang remeh.
Kematian sesungguhnya merupakan
topik yang penting untuk direnungkan. Hingga saat seperti ini dalam
kehidupannya, seseorang mungkin tidak menyadari betapa berarti kenyataan ini.
Namun, karena kini ia punya kesempatan untuk memahami pentingnya hal tersebut,
ia harus mempertimbangkan kembali kehidupan dan segenap harapannya. Tidak
pernah ada kata terlambat untuk bertobat kepada Allah serta mengarahkan kembali
seluruh perilaku dan melanjutkan kehidupan seseorang dalam kepatuhan akan
kehendak Allah. Hidup itu pendek; jiwa manusia kekal. Dalam masa yang pendek
ini, seseorang seharusnya tidak membiarkan keinginan yang sementara
mengendalikannya. Seseorang seharusnya melawan godaan dan menjauhkan dirinya
dari segala hal yang memperkuat ikatannya terhadap dunia ini. Sungguh tidak bijaksana
untuk mengabaikan dunia yang selanjutnya, hanya demi kesenangan yang sementara
ini.
Meski demikian, orang-orang yang
tidak beriman dan tidak dapat memahami kenyataan ini menghabiskan hidup mereka
dalam kesia-siaan dengan melupakan Allah. Lebih lanjut, mereka mengetahui bahwa
tidaklah mungkin mereka mencapai keinginan-keinginan ini. Mereka selalu
merasakan ketidakpuasan yang dalam dan menginginkan lebih daripada apa yang
mereka miliki kini. Mereka memiliki harapan dan keinginan yang tidak berakhir.
Namun, dunia bukanlah tempat yang sesuai untuk memuaskan keinginan-keinginan
ini.
Tidak ada yang kekal di dunia ini.
Waktu berlaku pada hal-hal yang bagus dan baru. Sebuah mobil baru akan segera
ketinggalan jaman begitu model lain dirancang, diproduksi, dan dipasarkan. Sama
halnya, seseorang mungkin menginginkan rumah besar milik orang lain atau rumah
mewah dengan ruangan yang lebih banyak daripada penghuninya dan dengan
perlengkapan yang dilapisi emas, yang pernah dilihat sebelumnya, akan
kehilangan selera terhadap rumahnya sendiri dan tidak dapat menghindari hal-hal
tersebut dengan rasa iri.
Sebuah pencarian tak berakhir untuk
sesuatu yang baru dan lebih baik tidak memberikan nilai ketika ia telah
dicapai, celaan terhadap sesuatu yang lama, dan meletakkan seluruh harapan pada
yang baru: ini adalah lingkaran setan yang telah dialami manusia di mana pun
sepanjang sejarah. Namun, seorang manusia yang berilmu pengetahuan seharusnya
berhenti dan bertanya pada diri sendiri untuk sesaat: mengapa ia mengejar ambisi
yang sementara dan sudahkah ia dapatkan keuntungan dari upaya itu? Akhirnya, ia
seharusnya menarik kesimpulan bahwa "ada masalah mendasar pada pandangan
ini". Namun manusia, yang sedikit sekali memikirkan hal ini, terus
mengejar mimpi yang sepertinya tidak akan dapat mereka capai.
Tidak ada seorang pun, bagaimanapun
juga, mengetahui apa yang akan terjadi bahkan dalam beberapa jam mendatang:
setiap saat seseorang mungkin mengalami kecelakaan, terluka parah, atau menjadi
cacat. Lebih jauh lagi, waktu berlalu dalam perhitungan menuju kematian
seseorang. Setiap hari membawa hari yang telah ditakdirkan tersebut lebih
dekat. Kematian pastilah menghapus seluruh ambisi, keserakahan, dan keinginan
terhadap dunia ini. Di dalam tanah, baik harta benda maupun status tidak
berlaku. Setiap harta benda yang membuat kita kikir, begitupun tubuh kita, akan
menghilang dan meluruh di dalam tanah. Apakah seseorang itu kaya atau miskin,
cantik atau jelek, suatu saat ia akan dibungkus dalam kafan yang sederhana.
Kami percaya bahwa Fakta-Fakta
yang Mengungkap Hakikat Hidup menawarkan sebuah penjelasan mengenai sifat
yang sesungguhnya dari kehidupan manusia. Sebuah kehidupan pendek dan penuh
tipuan yang didalamnya keinginan duniawi terlihat menarik dan penuh janji,
namun kenyataannya bertolak belakang. Buku ini akan memungkinkan Anda merasakan
hidup Anda dan seluruh kenyataannya, dan membantu Anda memikirkan kembali
tujuan Anda dalam hidup, bila Anda menginginkannya.
Allah memerintahkan orang-orang
beriman untuk mengingatkan manusia lain akan fakta-fakta ini, dan menyuruh
mereka hidup hanya untuk memenuhi keinginan-Nya, sebagaimana yang
difirmankan-Nya dalam ayat berikut:
Hai manusia, bertakwalah kepada
Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang seorang bapak tidak dapat menolong anaknya
dan seorang anak tidak dapat menolong bapaknya sedikit pun. Sesungguhnya janji
Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan
kamu, dan jangan penipu memperdayakan kamu dalam Allah. (QS. Luqman, 31: 33).
Sumber:
Catatan harian pribadi dan artikel dari www.pakdenono.com.
0 komentar:
Posting Komentar